Sabtu, 30 Agustus 2008

Ramadhan tlah datang

Alhamdullillah Ramadhan tlah datang.Ini Ramadhan kali ketigaku.
Tanpa dekapan hangat Ibu.
Tanpa tatapan bijak mata Ayah.
Tanpa celoteh si bungsu yang terus mencecarku dengan tanya keingintahuaannya
Jarak yang membentang antara belantara Kalimantan dan jajaran pegunungan Sulawesi
Juga keberpihakan waktu pada apa yang tengah kujalani sekarang.
Membuatku harus tunduk
Melalui dini hari demi dini hari tanpa bercengkrama bersama mereka
Menuntaskan dahaga dan lapar tanpa kehadiran mereka.
Menepis inginku merasakan masakan ibu yang sederhana namun nikmat tak terkira.
Rasanya tak sabar ingin segera bersujud di kaki ibu dan ayah atas segala khilaf yang tlah tertoreh selama ini
Atas kecewa yang kurajut dengan sadar di lantunan pengharapan mereka.
Atas kekerasan hati yang belum mampu menyata ingin mereka.
Ramadhan telah datang
dan ini tahun kedua tanpa kakek.
tahun kedua ketiadaannya di tengah-tengah kami.
Tidak akan kudengar lagi batuknya di senyap malam.
Tidak akan kudapati lagi untai nasihat yang terus menyemangati langkahku.
Tidak akan kulihat lagi gurat letih di tubuhnya setelah menisik jaring seharian.
Tidak akan kurasakan lagi usapan hangatnya dikepalaku saat aku pamit pergi menuai asa

Namun, lepas dari semua itu, aku mengucap syukur. Aku yakin Ia tetap menjagaku dari sana.

Subhanallah, Alhamdulillah,Astagfirullah, Allahu Akbar.
Aku masih diberi waktu menguntai makna dan dan menyemai berkah cintah Ilahi
diberi kesempatan melebur segala khilaf yang tereja tanpa sadar
maafkan anakmu Ibu,
maafkan anakmu Ayah,
Beri aku waktu
Aku janji, semua mimpi dan pengharapanmu akan terwujud, dengan Mahabbah dari Rabb.
Bismillah....
(Dr.MR)




Jumat, 29 Agustus 2008

Jejak Telapakku

Kini pijakan kaki letihnya menyusuri pepasir berkerang
Ia nikmati tiap kali kerang itu menyentuh kaki telanjangnya
Riuh sekitar
Ia menjejak sela keramaian dan girangnya bocah bermain layangan
Menyemai senyum di hela nafas
Pada onggokan kayu tua ia coba bercengkrama
Dialog kebesaran Tuhan yang dalam kekinian sadarnya membuncah rangkai sekalimat pujian
Sedetik lalu bergumam sambil menoleh jejak kaki yang mulai tertutup jejak baru
Jauh sudah
Lama sudah
Teringat pula pada awal langkah yang ia cerca dan ia tikam sesal
Tertohok betapa langkah awal itu pula yang membawanya ke bumi yang ia telapaki sekarang
Langkah yang beri arti
Gurat-gurat makna menyemu
Rintih keluh dan reratapan menyamar
Hidup memang pengelanaan yang suatu hari kan berhenti di suatu titik
Setidaknya sebelum titik itu tampak
Ia ingin tetap tegak
Terus menyeret tubuh sarat beban
Esok kembara kan berganti tujuan
Bersama angin, meraba semesta dan menemukan akhirnya
Sebentuk dunia yang lama ia reka dalam mimpi
Kelak….
Denpasar 28 Agustus 2007 22.56

Kamis, 28 Agustus 2008

Pernahkah?

Pernahkah kamu bangun di tengah malam oleh mimpi buruk?

Buruk karena dia –yang tak boleh disebut namanya saking inginnya kamu lupakan—kembali hadir tanpa permisi?

Pernahkah kamu ingin berteriak ketika kamu sedang sibuk-sibuknya dan tiba-tiba bayangan si dia—yang tak boleh disebut namanya saking inginnya kamu lupakan—

tiba-tiba melintas di pikiranmu bersama semua kenangan yang ingin kamu buang jauh?

Pernahkah kamu bertemu dengan orang yang mirip banget dengan dia—yang tak boleh disebut namanya saking inginnya kamu lupakan—entah fisiknya, cara bicaranya- cara berfikirnya; caranya tertawa, lalu menangis karena merindukan momen indah kalian?

Pernahkah kamu berfikir untuk mengganti email/no. ponsel dsb, karena kamu tidak ingin si—dia yang tak boleh disebut namanya saking inginnya kamu lupakan—kembali hadir dan merusak hari-hari indahmu yang tlah kembali?

Pernahkan kamu berfikir ingin mencekik pacar baru si mantan ketika dia menggandeng mesra tangan si—dia yang tak boleh disebut namanya saking inginnya kamu lupakan—di depan matamu?


Pernahkan kamu lewat dan melintasi jalan atau tempat tertentu lalu berusaha keras tidak melihat ke arah itu karena itu sama saja menghadirkan luka yang pernah—dia yang tak boleh disebut namanya saking inginnya kamu lupakan—torehkan?(Dr.MR)

Rabu, 27 Agustus 2008

Untuk Apa Semua Ini?

Pertanyaan ini yang membuatku merenung tadi malam.Mengingat bulan ini bener-benar hampir tidak ada jeda. Perayaan Tahun Bahasa membuat kantor dah seperti pasar, rame benget saking sibuknya/ I love the atmosphere anyway. Setidaknya menampik pikiran orang selama ini tentang PNS-yang katanya cuma kerjanya-duduk-bengong-ngegosip-ga jelas-dan-suka-bolos-pada jam-kantor.hehehehe (BTW, you may stop reading this entry if it looks like not your thing

Back to the topic...

So, kantor dapet instruksi dari kantor pusat sejak awal tahun ini untuk turut menyemarakkan Tahun Bahasa yang jatuhnya tepat tahun ini. Alasannya sih karena tahun ini pas 80 tahun sumpah pemuda(Masih ingat kan?) dan 100 tahun kebangkitan nasional.Ya, karena kantor tempat saya bekerja itu bergelut di bidang kebahasaan dan kesastraan, ya makanya momen ini tidak bisa diabaikan begitu saja.(Click here and here to know where I work cuz I can't explain you at this entry. Yeha, just in case if you are getting dizzy reading this).

Jadi, diadakanlah berbagai kegiatan. Kebetulan saya dapat tugas di beberapa kepanitian.So, jadi sibuk gitu (ya tentunya masih sempetin ngeblog, hehehe). Alhamdulillah sebagian kegiatan sudah hampir kelar. Puncaknya hari ini dan besok. Tapi, gila, capek banget. Seharian mengurusi kepanitian sampe malem (yang untungnya rame-rame, jadi capeknya nggak terlalu terasa). Dan itu udah berlangsung selama dua minggu. Fiuuhhhhh.Tadi malem dah niat kalo nyampe rumah udah mau tidur aja bawaannya. Tapi OMG, pas di jalan pulang ke rumah, siswa privatku (yes, I nyambi ngajar juga) sms, ngingatin kalo malam ini mereka ada kelas. Tuh kan, sampe lupa kalo ada jadwal ngajar. Akhirnya, dengan badan yang setengah remuk saya paksakan juga ke sana.Ya ga ada jalan mundur, soalnya dah kadung janji and teken kontrak.

Akhirnya tepat pukul 21.00. lesnya dah kelar.

Sesampainya di rumah, saya langsung rebahan. Mata dah berkunang-kunang. What a exhausting day. Udah tadi siang makan telat lagi (kebiasaan deh). Ingin rasanya berendam air hangat..tapi apa daya di rumah kontakan ga ada bath upnya, hehehe.

Mau tidur tapi cucian kemarin belum sempet dilipat, dan menumpuk di sudut tempat tidur. Tapi, ternyata energi yang ada sudah terkuras habis, seolah organ-oran di tubuhku tiba-tiba ngadain demo, meminta untuk segera diistirahatkan. Trus, baru nyadar kalo kamar ternyata sudah seperti kapal pecah saking berantakannya. Melihatnya mebuat kepala ku tambah pening...pening (ingat POLTAK si Raja Minyak dari Medan -di sinetron Gerhana- kalo ngucapin kata ini?). Akhirnya,yang ada, saya akhirnya memutusnkan untuk menuruti permitaan mereka, alias tidur.

Tadi subuh, pas bangun langsung deh beresin kamar (In case kalo ada yang nanya:nggak sholat ya Ma'?Jawabannya, l got my period -so kalo sampe detik ini masih ada yang ngira saya ini om-om, kakang, mamang, mas, or whatever-please dehh).

Sambil dengerin lagunya The Fikr di laptop, aku siap-siap mandi. Tapi pas mau keluar kamar, ada denger tauziyah AA Gym. Intinya Beliau berkata: Sungguhnya desah nafas telah terhitung, semakin hari semakin dekat datangnya kematian, semua yang kita lakukan di dunia ini harus mengarahkan kita pada persiapan bekal buat kehidupan yang lebih abadi,juga harus mengarahkan kita untuk semakin dekat pada Allah, Sang Penggenggam kehidupan.

Saya terpekur, apa pekerjaan dan kesibukan saya selama ini bernilai ibadah di sisi-Nya, atau hanya menghamburkan sisa umur dengan sia-sia?Untuk apa semua ini? Saya rela menghabiskan waktu di kantor, berusaha yang terbaik agar kegiatan dapat berlangsung dengan sukses. Tapi kalau dalam urusan ibadah, sholat terutama, saya masih suka terburu-buru, tidak khusyu, bla..bla. Belum lagi semua kekufuran yang sering saya lakukan tanpa sadar. Juga zina hati yang masih susah dikendalikan.Kesibukan yang sering bikin lupa kalo waktu shplat dah mo hampir habis. Lalu, untuk apa semua ini?(Dr.MR)

Astagfirullah...

P.S. Semoga waktu yang tersisa dapat kita manfaatkan untuk semakin mendekatkan diri dan menyuburkan cinta Alah di hati kita. Aminnn.

P.S. Allhamdulillah, Ramadhan sebentar lagi...

P.S. lagi. Start from now on, I want to end each of my new entry with Dr.MR. biar kesannya gimana gitu, hehehehe. GAYA!)

Have a great day people!

Jumat, 22 Agustus 2008

Nyunsep

Hiks..Hiks. Badanku masih terasa salit waktu menulis postingan ini. Bagaimana tidak? tadi pagi dalam perjalanan ke kantor, aku mengalami kecelakaan (jangan panik dulu saudara, ini masih darma yang nulis kok, bukan rohnyaJ ) Sakitnya sih tidak seberapa dibanding dengan .Well how to say it, emhm..malunya itu.

Begini ceritanya. Aku memang belum terlalu bisa mengendarai motor, tapi ya karena di tempat ini, untuk survive kamu harus punya kendaraan dan harus bisa ’fasih’ mengendarai -ya kendaraan itu, masa kuda-, hehehe. Well, back to the topic, walaupun kota ini sudah termasuk kota provinsi,namun transportasinya belum terlalu mobile. So, sebaiknya harus punya motor, atau kalo nggak siap-siap aja striptease dipinggir jalan setiap harinya untuk minta tumpangan (can you imagine how I do it? )

Tadi pagi waktu berangkat sih, nggak ada perasaan aneh bin ajaib gitu,firasat atau apalah yang menandakan kalau aku akan mengalami kejadian yang buruk(baca:memalukan). Berhubung sampah di rumah dah numpuk dan baunya udah nggak banget, so aku bawalah dua kantong gede sampah itu (sebetulnya sangat tidak seimbang dengan tubuh mungilku, hehehe). Tapi aku nekat juga bawa sampah itu ke TPS(ya iyalah masa ke TPU,secara Pemilu belum dimulai, hehehe). TPS-nya kebetulan berada tak jauh dari kantor.

Belum seberapa jauh berjalan (mengendari motor), kantong sampah yang kugantung di gantungan motor sebelah kanan(ya iyalah masa digantung di leher) tiba tiba terlepas ikatannya. Sambil tetap fokus mengendarai, dengan tangan kiriku aku berusaha memperbaiki letak kantong itu (dengan susah payah-salah-sendiri-nggak-berenti-dulu)

Pas aku kembali melihat jalann dan merasakan sesuatu yang aneh bin buruk baru saja terjadi, DAN SAUDARA-SAUDARA! Motor yang aku kendarai sudah tidak berada di jalan raya, tepatnya di alang-alang, dan AKHIRNYA motor itu berhasil mendarat dengan sukses bin mulus-nya di semak belukar yang posisinya berada di tepi jalan yang curam. Aku diserang kepanikan yang luar biasa, mencoba berdiri, but, Sugar Honey Ice Tea(SHIT!),setelah berhasil brdiri (sambil terus berdoa dalam hati-moga-moga temen kantor nggak ada yang liat) aku mencoba mengembalikan motorku ke posisi normal(of course yes, masa nungging), tapi, hiks..hiksss aku tidak bisa. Beberapa saat lamanya aku terdiam, lalu mencoba naik ke jalan untuk mengibarkan bendera “HELP ME, I GOT ACCIDENT”(well, nggak segitunya sih). Sekonyong-konyong sebuah motor berhenti. Pengendaranya adalah anak SMU, dan dengan semangat 45 membantuku menaikkan motor ke jalan. Tulus banget deh. He was my hero this morning, hehehe). Melihat kejadian itu ada beberapa pengendara lain yang ikut-ikutan berhenti dengan tatapan heran nan kaget karena tiba-tiba muncul motor dari arah semak belukar yang tak terlihat, hehehe). Tapi aku juga sempat melihat sebersit tatapan: ”OMG, kasihan- banget -sih-nih-cewek, udah-badan-kecil-hitam-hidup-lagi-eh-kecelakaan-pula)

Si anak SMU( yang ternyata lumayan cute itu juga menbantuku menyalakan motor, juga membetulkan letak sampah yang ada ) Thanks God for sending him to me on this silly accident! Syukurlah motornya nggap papa dan bisa hidup lagi. Eh tapi pas motornya udah nyala, ada suara yang menegurku” Kamu kenapa Ma?Kamu nggak papa kan?

Oh No, temen kantor!


Akhirnya berita kalo aku kecelakaan menyebar seantero kantor. Beberapa temen bersimpati dan berempati, sambil introgasi dan investigasi alan waertawan infotemen. Ada juga yang nyeletuk, ”Ma, motornya nggak papa kan?”

Tega deh, nggak liat apa aku berjalan terpincang-pincang?

Itu sudah...

Ada hikmahnya juga kali yah tinggal di deket hutan yang penuh semak belukar dan rawa-rawa. Nggak kebayang kali tadi jatuh pas di tanah kering penuh kerikir, pasti sakitnya luar biasa lagi)

Hari ini tdk akan aku lupakan seumur hidup.

Nyunsep

Hiks..Hiks. Badanku masih terasa salit waktu menulis postingan ini. Bagaimana tidak? tadi pagi dalam perjalanan ke kantor, aku mengalami kecelakaan (jangan panik dulu saudara, ini masih darma yang nulis kok, bukan rohnyaJ ) Sakitnya sih tidak seberapa dibanding dengan .Well how to say it, emhm..malunya itu.

Begini ceritanya. Aku memang belum terlalu bisa mengendarai motor, tapi ya karena di tempat ini, untuk survive kamu harus punya kendaraan dan harus bisa ’fasih’ mengendarai -ya kendaraan itu, masa kuda-, hehehe. Well, back to the topic, walaupun kota ini sudah termasuk kota provinsi,namun transportasinya belum terlalu mobile. So, sebaiknya harus punya motor, atau kalo nggak siap-siap aja striptease dipinggir jalan setiap harinya untuk minta tumpangan (can you imagine how I do it? )

Tadi pagi waktu berangkat sih, nggak ada perasaan aneh bin ajaib gitu,firasat atau apalah yang menandakan kalau aku akan mengalami kejadian yang buruk(baca:memalukan). Berhubung sampah di rumah dah numpuk dan baunya udah nggak banget, so aku bawalah dua kantong gede sampah itu (sebetulnya sangat tidak seimbang dengan tubuh mungilku, hehehe). Tapi aku nekat juga bawa sampah itu ke TPS(ya iyalah masa ke TPU,secara Pemilu belum dimulai, hehehe). TPS-nya kebetulan berada tak jauh dari kantor.

Belum seberapa jauh berjalan (mengendari motor), kantong sampah yang kugantung di gantungan motor sebelah kanan(ya iyalah masa digantung di leher) tiba tiba terlepas ikatannya. Sambil tetap fokus mengendarai, dengan tangan kiriku aku berusaha memperbaiki letak kantong itu (dengan susah payah-salah-sendiri-nggak-berenti-dulu)

Pas aku kembali melihat jalann dan merasakan sesuatu yang aneh bin buruk baru saja terjadi, DAN SAUDARA-SAUDARA! Motor yang aku kendarai sudah tidak berada di jalan raya, tepatnya di alang-alang, dan AKHIRNYA motor itu berhasil mendarat dengan sukses bin mulus-nya di semak belukar yang posisinya berada di tepi jalan yang curam. Aku diserang kepanikan yang luar biasa, mencoba berdiri, but, Sugar Honey Ice Tea(SHIT!),setelah berhasil brdiri (sambil terus berdoa dalam hati-moga-moga temen kantor nggak ada yang liat) aku mencoba mengembalikan motorku ke posisi normal(of course yes, masa nungging), tapi, hiks..hiksss aku tidak bisa. Beberapa saat lamanya aku terdiam, lalu mencoba naik ke jalan untuk mengibarkan bendera “HELP ME, I GOT ACCIDENT”(well, nggak segitunya sih). Sekonyong-konyong sebuah motor berhenti. Pengendaranya adalah anak SMU, dan dengan semangat 45 membantuku menaikkan motor ke jalan. Tulus banget deh. He was my hero this morning, hehehe). Melihat kejadian itu ada beberapa pengendara lain yang ikut-ikutan berhenti dengan tatapan heran nan kaget karena tiba-tiba muncul motor dari arah semak belukar yang tak terlihat, hehehe). Tapi aku juga sempat melihat sebersit tatapan: ”OMG, kasihan- banget -sih-nih-cewek, udah-badan-kecil-hitam-hidup-lagi-eh-kecelakaan-pula)

Si anak SMU( yang ternyata lumayan cute itu juga menbantuku menyalakan motor, juga membetulkan letak sampah yang ada ) Thanks God for sending him to me on this silly accident! Syukurlah motornya nggap papa dan bisa hidup lagi. Eh tapi pas motornya udah nyala, ada suara yang menegurku” Kamu kenapa Ma?Kamu nggak papa kan?

Oh No, temen kantor!


Akhirnya berita kalo aku kecelakaan menyebar seantero kantor. Beberapa temen bersimpati dan berempati, sambil introgasi dan investigasi alan waertawan infotemen. Ada juga yang nyeletuk, ”Ma, motornya nggak papa kan?”

Tega deh, nggak liat apa aku berjalan terpincang-pincang?

Itu sudah...

Ada hikmahnya juga kali yah tinggal di deket hutan yang penuh semak belukar dan rawa-rawa. Nggak kebayang kali tadi jatuh pas di tanah kering penuh kerikir, pasti sakitnya luar biasa lagi)

Hari ini tdk akan aku lupakan seumur hidup.

Apa yang Telah Kita Berikan untuk Negara?

Melihat kemenangan Markis KIDO dan Hendra SETIAWAN Sabtu malam yang dramatis dan mengesankan, seolah kembali memekarkan kuncup-kuncup nasionalisme dalam diri ini yang hampir layu. Mereka berhasil menyumbangkan emas pertama, kembali mengharumkan nama bangsa ini, alunan Indonesia Raya pun kembali bergema di Beijing University of Technology Gymnasium, Subhanallah. Kemenangan tentu saja merupakan kado yang sangat indah dan luar biasa menjelang detik-detik perayaan dirgahayu Indonesia yang ke -63.

Saya lalu bertanya, apa yang telah kuberikan untuk negara ini?.

Tempatku lahir dan dibesarkan.

Yang udaranya kuhirup setiap saat. Menikmati hasil alamnya.

Negara yang membuat banyak negara di dunia ini iri dan diam-diam punya hasrat terpendam untuk menyulap negara mereka menjadi sekaya dan sesubur negeri ini. Negeri yang kekayaan laut dan pasirnya banyak dicuri.

Apa yang telah saya lakukan untuk negara ini?

Nothing!!! Tidak ada sama sekali

Yang ada saya hanya bisa MENGELUH

Yang ada saya terus MENGUMPAT

Saya bisanya cuma MENGUTUK pemerintah yang tidak becus mengurusi rakyatnya.

Seolah saya TAHU pasti cara menyelesaikan masalah sebenarnya.

Pernah aku menyaksikan siaran TV mengenai subsidi BBM ketika demo kenaikan BBM ramai di mana-mana, aku jadi terdiam kala narasumbernya memberitahu besarnya subsidi yang diberikan pemerintah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya harus membeli bensin dengan harga 12 sampai 15 ribu perliternya. 6 ribu saja sudah agak memberatkan. Fyii, ternyata aku cuma bisa mengeluh tanpa berfikir dibalik setiap keputusan yang diambil pemerintah.

Salah seorang teman bahkan pernah nyeletuk ketika aku mengeluh tingginya harga BBM, dia bilang, Ma’ masih untung kita masih bisa dapat BBM, coba kalau harganya murah 2000 rupiah tapi kamu harus mencarinya sampai di Papua sana, bagaimana?

Hehehe, iya juga sih.

Itu baru masalah BBM, belum lagi keluhanku mengenai kinerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dipelesetkan dengan seenaknya menjadi Perusahaan Lilin Negara. Belum masalah TKI, bla..bla..

Yah walaupun memang tampak banyak penyalahgunaan sana sini

Juga banyak koruptor yang masih melenggang kangkung, ongkang-ongkang kaki di istana megahnya setelah mengeruk kekayaan negara ini tanpa merasa tidak berdosa sama sekali.

Meski para anggota gedung bundar terlalu rajin studi banding.

Meski penyelewengan, ketimpangan, ketidakadilan, dan ketidakmerataan terus terjadi. Juga pelanggaran HAM yang belum terpecahkan

(nah kan, lagi-lagi mengeluh!:-)

Setidaknya saya tidak memperburuk keadaan dengan terus mencaci maki dan menyumpah-serapahi pemerintah, terus mengeluhkan keadaan, terus BERKOAR tanpa melakukan sesuatu untuk merubah keadaan.

Juga tidak lagi memandang para bakal calon presiden independen itu dengan sebelah mata.

(Setidaknya mereka sudah berani BERBUAT -mengeluarkan-dana-yang-tidak-sedikit-untuk-membuat-iklan-politik, berani MENYONSONG celaan dan ketidakpercayaan dari rakyat yang sudah muak dengan janji semu)

Seandainya aku ada di posisi mereka bisakah saya melakukan yang lebih baik?

Sementara pekerjaan kantor saja saya masih sering kewalahan

Urusan pribadi saja masih sering membuatku tidak fokus mejalankan tanggung jawab di kantor.

Urusan rumah masih sering terbengkalai

Manajemen waktuku selalu keteteran

Pusing mengenai pekerjaan mana yang harus kuprioritaskan.

Mulai sekarang.

Saya mau berhenti mengeluh.

Berhenti mengutuk.

Rabu, 20 Agustus 2008

Apa yang Telah Kita Berikan untuk Negara Ini?

Melihat kemenangan Markis KIDO dan Hendra SETIAWAN Sabtu malam yang dramatis dan mengesankan, seolah kembali memekarkan kuncup-kuncup nasionalisme dalam diri ini yang hampir layu. Mereka berhasil menyumbangkan emas pertama, kembali mengharumkan nama bangsa ini, alunan Indonesia Raya pun kembali bergema di Beijing University of Technology Gymnasium, Subhanallah. Kemenangan tentu saja merupakan kado yang sangat indah dan luar biasa menjelang detik-detik perayaan dirgahayu Indonesia yang ke -63.

Saya lalu bertanya, apa yang telah kuberikan untuk negara ini?.

Tempatku lahir dan dibesarkan.

Yang udaranya kuhirup setiap saat. Menikmati hasil alamnya.

Negara yang membuat banyak negara di dunia ini iri dan diam-diam punya hasrat terpendam untuk menyulap negara mereka menjadi sekaya dan sesubur negeri ini. Negeri yang kekayaan laut dan pasirnya banyak dicuri.

Apa yang telah saya lakukan untuk negara ini?

Nothing!!! Tidak ada sama sekali

Yang ada saya hanya bisa MENGELUH

Yang ada saya terus MENGUMPAT

Saya bisanya cuma MENGUTUK pemerintah yang tidak becus mengurusi rakyatnya.

Seolah saya TAHU pasti cara menyelesaikan masalah sebenarnya.

Pernah aku menyaksikan siaran TV mengenai subsidi BBM ketika demo kenaikan BBM ramai di mana-mana, aku jadi terdiam kala narasumbernya memberitahu besarnya subsidi yang diberikan pemerintah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya harus membeli bensin dengan harga 12 sampai 15 ribu perliternya. 6 ribu saja sudah agak memberatkan. Fyii, ternyata aku cuma bisa mengeluh tanpa berfikir dibalik setiap keputusan yang diambil pemerintah.

Salah seorang teman bahkan pernah nyeletuk ketika aku mengeluh tingginya harga BBM, dia bilang, Ma’ masih untung kita masih bisa dapat BBM, coba kalau harganya murah 2000 rupiah tapi kamu harus mencarinya sampai di Papua sana, bagaimana?

Hehehe, iya juga sih.

Itu baru masalah BBM, belum lagi keluhanku mengenai kinerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dipelesetkan dengan seenaknya menjadi Perusahaan Lilin Negara. Belum masalah TKI, bla..bla..

Yah walaupun memang tampak banyak penyalahgunaan sana sini

Juga banyak koruptor yang masih melenggang kangkung, ongkang-ongkang kaki di istana megahnya setelah mengeruk kekayaan negara ini tanpa merasa tidak berdosa sama sekali.

Meski para anggota gedung bundar terlalu rajin studi banding.

Meski penyelewengan, ketimpangan, ketidakadilan, dan ketidakmerataan terus terjadi. Juga pelanggaran HAM yang belum terpecahkan

(nah kan, lagi-lagi mengeluh!:-)

Setidaknya saya tidak memperburuk keadaan dengan terus mencaci maki dan menyumpah-serapahi pemerintah, terus mengeluhkan keadaan, terus BERKOAR tanpa melakukan sesuatu untuk merubah keadaan.

Juga tidak lagi memandang para bakal calon presiden independen itu dengan sebelah mata.

(Setidaknya mereka sudah berani BERBUAT -mengeluarkan-dana-yang-tidak-sedikit-untuk-membuat-iklan-politik, berani MENYONSONG celaan dan ketidakpercayaan dari rakyat yang sudah muak dengan janji semu)

Seandainya aku ada di posisi mereka bisakah saya melakukan yang lebih baik?

Sementara pekerjaan kantor saja saya masih sering kewalahan

Urusan pribadi saja masih sering membuatku tidak fokus mejalankan tanggung jawab di kantor.

Urusan rumah masih sering terbengkalai

Manajemen waktuku selalu keteteran

Pusing mengenai pekerjaan mana yang harus kuprioritaskan.

Mulai sekarang.

Saya mau berhenti mengeluh.

Berhenti mengutuk.

Berhenti mengumpat.

Seperti iklan salah satu rokok ”TALK LESS, DO MORE!”

Dan bagaimanapun saya harus tetap BANGGA jadi orang Indonesia

P.S. To name few, Krt. Gaura Mancacaritadipura (Dalang berkebangsaan Australia) dan Wahyu Soeparno Putra (Orang Aussie juga).Orang asing saja begitu ingin dan bangga menjadi warga Negara Indonesia.(Link Kick Andy).mengapa saya tidak?

Apa yang Telah Kita Berikan untuk Negara Ini?

Melihat kemenangan Markis KIDO dan Hendra SETIAWAN Sabtu malam yang dramatis dan mengesankan, seolah kembali memekarkan kuncup-kuncup nasionalisme dalam diri ini yang hampir layu. Mereka berhasil menyumbangkan emas pertama, kembali mengharumkan nama bangsa ini, alunan Indonesia Raya pun kembali bergema di Beijing University of Technology Gymnasium, Subhanallah. Kemenangan tentu saja merupakan kado yang sangat indah dan luar biasa menjelang detik-detik perayaan dirgahayu Indonesia yang ke -63.

Saya lalu bertanya, apa yang telah kuberikan untuk negara ini?.

Tempatku lahir dan dibesarkan.

Yang udaranya kuhirup setiap saat. Menikmati hasil alamnya.

Negara yang membuat banyak negara di dunia ini iri dan diam-diam punya hasrat terpendam untuk menyulap negara mereka menjadi sekaya dan sesubur negeri ini. Negeri yang kekayaan laut dan pasirnya banyak dicuri.

Apa yang telah saya lakukan untuk negara ini?

Nothing!!! Tidak ada sama sekali

Yang ada saya hanya bisa MENGELUH

Yang ada saya terus MENGUMPAT

Saya bisanya cuma MENGUTUK pemerintah yang tidak becus mengurusi rakyatnya.

Seolah saya TAHU pasti cara menyelesaikan masalah sebenarnya.

Pernah aku menyaksikan siaran TV mengenai subsidi BBM ketika demo kenaikan BBM ramai di mana-mana, aku jadi terdiam kala narasumbernya memberitahu besarnya subsidi yang diberikan pemerintah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya harus membeli bensin dengan harga 12 sampai 15 ribu perliternya. 6 ribu saja sudah agak memberatkan. Fyii, ternyata aku cuma bisa mengeluh tanpa berfikir dibalik setiap keputusan yang diambil pemerintah.

Salah seorang teman bahkan pernah nyeletuk ketika aku mengeluh tingginya harga BBM, dia bilang, Ma’ masih untung kita masih bisa dapat BBM, coba kalau harganya murah 2000 rupiah tapi kamu harus mencarinya sampai di Papua sana, bagaimana?

Hehehe, iya juga sih.

Itu baru masalah BBM, belum lagi keluhanku mengenai kinerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dipelesetkan dengan seenaknya menjadi Perusahaan Lilin Negara. Belum masalah TKI, bla..bla..

Yah walaupun memang tampak banyak penyalahgunaan sana sini

Juga banyak koruptor yang masih melenggang kangkung, ongkang-ongkang kaki di istana megahnya setelah mengeruk kekayaan negara ini tanpa merasa tidak berdosa sama sekali.

Meski para anggota gedung bundar terlalu rajin studi banding.

Meski penyelewengan, ketimpangan, ketidakadilan, dan ketidakmerataan terus terjadi. Juga pelanggaran HAM yang belum terpecahkan

(nah kan, lagi-lagi mengeluh!:-)

Setidaknya saya tidak memperburuk keadaan dengan terus mencaci maki dan menyumpah-serapahi pemerintah, terus mengeluhkan keadaan, terus BERKOAR tanpa melakukan sesuatu untuk merubah keadaan.

Juga tidak lagi memandang para bakal calon presiden independen itu dengan sebelah mata.

(Setidaknya mereka sudah berani BERBUAT -mengeluarkan-dana-yang-tidak-sedikit-untuk-membuat-iklan-politik, berani MENYONSONG celaan dan ketidakpercayaan dari rakyat yang sudah muak dengan janji semu)

Seandainya aku ada di posisi mereka bisakah saya melakukan yang lebih baik?

Sementara pekerjaan kantor saja saya masih sering kewalahan

Urusan pribadi saja masih sering membuatku tidak fokus mejalankan tanggung jawab di kantor.

Urusan rumah masih sering terbengkalai

Manajemen waktuku selalu keteteran

Pusing mengenai pekerjaan mana yang harus kuprioritaskan.

Mulai sekarang.

Saya mau berhenti mengeluh.

Berhenti mengutuk.

Berhenti mengumpat.

Seperti iklan salah satu rokok ”TALK LESS, DO MORE!”

Dan bagaimanapun saya harus tetap BANGGA jadi orang Indonesia

P.S. To name few, Krt. Gaura Mancacaritadipura (Dalang berkebangsaan Australia) dan Wahyu Soeparno Putra (Orang Aussie juga).Orang asing saja begitu ingin dan bangga menjadi warga Negara Indonesia.(Link Kick Andy).mengapa saya tidak?

Jumat, 15 Agustus 2008

Lalu, apa sejatinya sebuah kemerdekaan?

Merah putih tampak di setiap sudut kota, menghiasi tepi jalan..

Begitu kental tanda bahwa kita sedang menyambut ultah republik ini yang akan mencapai puncak Minggu besok. Berbagai lomba diadakan, berbagai perayaan digelar.Dari lomba nyanyi, terompah, panjat pinang, tarik tambang, makan kerupuk, lari karung, lomba gapura dan sebagainya...

Namun, melihat semua itu...

Entahlah, di satu sisi hatiku bersuka cita melihat kegembiraan itu, senyum dan gelak tawa, juga riuh kemenangan,

tapi di satu sisi aku berontak karena masih tak bisa menemukan kemerdekaan sejati

Tidak. Aku sedang tidak berada di balik jeruji besi.

Aku sedang tidak dikungkung. Aku bebas. Pergi kemana saja aku suka.

Tapi sungguh kemerdekaan itu hanya tampak dipermukaaan...

Aku masih terjajah oleh egoku, oleh teknologi, kedigdayaan, bla...bla

Aku selalu kalah olehnya.

Aku masih bungkam ketika melihat kesemena-menaan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku.

Aku bahkan tak berdaya melihat mereka yang dirampas haknya terang-terangan.

Aku membiarkan rangkaian-rangkaian kebohongan terjalin di depanku, padahal aku tahu kebenarannya seperti apa

Aku juga belum bisa melepaskan diri dari kaum kapitalis...

Aku juga masih tak mampu menahan godaan untuk tidak membeli salah satu produk iklan di televisi, bahkan ketika aku sadar aku sungguh tidak membutuhkannya...

Jadi, apakah aku betul-betul merdeka?

Lalu, apa sejatinya sebuah kemerdekaan?

Lalu, apa sejatinya sebuah kemerdekaan?

Merah putih tampak di setiap sudut kota, menghiasi tepi jalan..

Begitu kental tanda bahwa kita sedang menyambut ultah republik ini yang akan mencapai puncak Minggu besok. Berbagai lomba diadakan, berbagai perayaan digelar.Dari lomba nyanyi, terompah, panjat pinang, tarik tambang, makan kerupuk, lari karung, lomba gapura dan sebagainya...

Namun, melihat semua itu...

Entahlah, di satu sisi hatiku bersuka cita melihat kegembiraan itu, senyum dan gelak tawa, juga riuh kemenangan,

tapi di satu sisi aku berontak karena masih tak bisa menemukan kemerdekaan sejati

Tidak. Aku sedang tidak berada di balik jeruji besi.

Aku sedang tidak dikungkung. Aku bebas. Pergi kemana saja aku suka.

Tapi sungguh kemerdekaan itu hanya tampak dipermukaaan...

Aku masih terjajah oleh egoku, oleh teknologi, kedigdayaan, bla...bla

Aku selalu kalah olehnya.

Aku masih bungkam ketika melihat kesemena-menaan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku.

Aku bahkan tak berdaya melihat mereka yang dirampas haknya terang-terangan.

Aku membiarkan rangkaian-rangkaian kebohongan terjalin di depanku, padahal aku tahu kebenarannya seperti apa

Aku juga belum bisa melepaskan diri dari kaum kapitalis...

Aku juga masih tak mampu menahan godaan untuk tidak membeli salah satu produk iklan di televisi, bahkan ketika aku sadar aku sungguh tidak membutuhkannya...

Jadi, apakah aku betul-betul merdeka?

Lalu, apa sejatinya sebuah kemerdekaan?

Lalu, apa sejatinya sebuah kemerdekaan?

Merah putih tampak di setiap sudut kota, menghiasi tepi jalan..

Begitu kental tanda bahwa kita sedang menyambut ultah republik ini yang akan mencapai puncak Minggu besok. Berbagai lomba diadakan, berbagai perayaan digelar.Dari lomba nyanyi, terompah, panjat pinang, tarik tambang, makan kerupuk, lari karung, lomba gapura dan sebagainya...

Namun, melihat semua itu...

Entahlah, di satu sisi hatiku bersuka cita melihat kegembiraan itu, senyum dan gelak tawa, juga riuh kemenangan,

tapi di satu sisi aku berontak karena masih tak bisa menemukan kemerdekaan sejati

Tidak. Aku sedang tidak berada di balik jeruji besi.

Aku sedang tidak dikungkung. Aku bebas. Pergi kemana saja aku suka.

Tapi sungguh kemerdekaan itu hanya tampak dipermukaaan...

Aku masih terjajah oleh egoku, oleh teknologi, kedigdayaan, bla...bla

Aku selalu kalah olehnya.

Aku masih bungkam ketika melihat kesemena-menaan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku.

Aku bahkan tak berdaya melihat mereka yang dirampas haknya terang-terangan.

Aku membiarkan rangkaian-rangkaian kebohongan terjalin di depanku, padahal aku tahu kebenarannya seperti apa

Aku juga belum bisa melepaskan diri dari kaum kapitalis...

Aku juga masih tak mampu menahan godaan untuk tidak membeli salah satu produk iklan di televisi, bahkan ketika aku sadar aku sungguh tidak membutuhkannya...

Jadi, apakah aku betul-betul merdeka?

Lalu, apa sejatinya sebuah kemerdekaan?

Rabu, 13 Agustus 2008

SEMENIT SAJA


Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan,

tetapi...

betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan!

Betapa lamanya melayani Allah SWT selama lima belas menit

namun...
betapa singkatnya kalau kita melihat film.

betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan)

namun...
betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman
tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun...

kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa.

Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Kitab Suci

tapi...

betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun...

lebih senang berada di shaf paling belakang ketika berada di Rumah Ibadah

Betapa mudahnya membuat 40 tahun DOSA

demi memuaskan NAFSU BIRAHI semata,

namun...

alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama beberapa hari ketika berpuasa


Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk berdoa,

namun...
betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam Kitab Suci namun,

betapa mudahnya

untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran

namun...
betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci


Betapa Takutnya kita apabila dipanggil BOSdan cepat-cepat menghadapnya namun...

betapa kita berani dan lamanya untuk menghadapNya saat waktu beribadah.

Betapa setiap orang ingin masuk SURGA seandainya tidak perlu untuk percaya atau berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.


Betapa kita dapat menyebarkan seribu lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya dengan FORWARD seperti api,

namun...

kalau ada mail yang isinya tentang Keagungan Allah

betapa seringnya kita ragu-ragu,
enggan membukanya dan mensharingkannya, serta langsung klik pada icon DELETE.



Selasa, 12 Agustus 2008

BAHASA INDONESIA, RENDAH ATAU RENDAH DIRI


(Tanggapan atas tulisan Deni Andriana)

Tulisan ini sekadar refleksi terhadap diri pribadi, sekadar mengukur apa masih ada nasionalisme yang tersisa dalam diri saya yang katanya mengaku orang Indonesia asli(yang terkadang dengan malu mengakuinya mengingat track record negara ini di kancah internasional yang semakin memburuk- korupsi, TKI Ilegal, BLBI, pembunuhan berantai, gizi buruk, dll) tapi ‘emoh alias enggan’ dengan atribut keindonesiaan saya. Syukur-syukur kalau bisa mengundang simpati orang lain, bukannya cemoohan, hehehe. Juga, sekadar merayakan 80 tahun Sumpah Pemuda Oktober mendatang, dan yang lebih penting untuk menyambut ultah republik ini yang tinggal menghitung hari. Sebelumnya, saya hanya ingin bilang ini murni tukar pendapat, dari kaca mata seorang dharmalamajid, yang tentu saja tak luput dari cela dan makian (hehehe, mendramatisir!)

Tulisan ini saya post sehubungan dengan adanya postingan salah seorang teman kita di MP beberapa saat yang lalu yang berjudul KENAPA KITA HARUS PINTAR BERBAHASA INGGRIS?(Terima kasih kepada )

Well, saya pribadi sering sekali ‘sok’ memakai bahasa Inggris dalam berbagai kesempatan (walaupun terkadang belepotan dan dipaksakan, hehehe jadi malu. Kamu liatkan empat huruf di awal paragraf ini? Bukannya itu bahasa Inggris?). Entahlah, saya ini mau ikutan sok keren, so intelek, sok canggih, atau apa. Yang jelas, saya sudah terlalu sering menyalahgunakan keahlian terbatas itu di mana saja (kadang tidak memerhatikan konteks, waktu dan tempat), termasuk berkomunikasi sesama pengguna dunia maya. In my defense (lagi-lagi Inggris!:p) saya hanya tidak mau bahasa Inggris saya hilang begitu saja, apalagi saat ini saya bekerja di kantor yang sama sekali kurang bersinggungan dengan bahasa Inggris yang pernah saya pelajari di bangku kuliah. Juga sangat tidak sopan bila bercas-cis-cus ala Cinta Laura di kantor, bisa-bisa kena tabok atau paling tidak dapat cibiran dari rekan-rekan kantor yang sirik karena tidak bisa berbahasa Inggris. Uppss, semoga mereka memaafkan saya setelah membaca tulisan ini, hihihi). Masalahnya salah seorang senior di kampus dulu pernah mendoktrin saya bahwa bahasa apapun di dunia ini, mau bahasa Inggris, bahasa daerah, Mandarin, Perancis, Jerman, dan sebagainya, semua bahasa itu adalah kebiasaan, meminjam istilah dia language is habit, jadi kalau mau fasih dengan bahasa itu ya, kita harus terbiasa memakai berbahasa itu).

Kalau anda bertanya, kok saya mau repot menulis tentang bahasa Indonesia? Masalah bahasa kok ribet banget sih?. Penting ya hari gini ngomongin bahasa?. Sekadar saya tahu saja, instansi tempat saya mengabdi (halah!) sering dicemooh sebagai lembaga yang hanya turut ramai menghambur-hamburkan APBN. Lembaga’ sok sibuk’. Sibuk mengurusi masalah tidak penting, yaitu bahasa. Sibuk menyelamatkan bahasa daerah yang hampir punah, sibuk bikin kamus, dan sebagainya. Sibuk sendiri deh pokoknya. Masalah bahasa kok pusing banget sih, itukan sepele! Begitu salah satu komentar dari banyaknya komentar pedas yang mampir di telinga dan membuat hati panas. Pembelaan saya, ya setidaknya kami berbuat sesuatu, tidak hanya sekedar bicara omong kosong. Masalah tindakan kami dianggap sia-sia, sok sibuk, itu urusan Allah swt. dan masyarakat yang menilai. Anda boleh saja tidak sependapat, mencak-mencak, atau berkomentar sinis akan tulisan di atas. Ini negara demokrasi, Bung. Anda tidak sedang dibungkam, jadi silakan berpendapat.

Merdeka!

Baik..baik..cukup dulu pembelaan saya. Mari kita masuk ke inti pembicaraan, saudara-saudara!Baca sampai selesai yah? J

Beberapa waktu lalu, pada pegelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2007 di Pekanbaru, film Kala, produksi MD Pictures, dinobatkan sebagai film berbahasa Indonesia terbaik. Penghargaan ini baru pertama kali diberikan dalam sejarah perhelatan akbar insan pefilman Indonesia tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memiliki makna penting dalam penggarapan sebuah karya. Ada harapan, penghargaan tersebut akan membawa pengaruh positif bagi kelangsungan bahasa Indonesia di ruang publik mengingat film merupakan salah satu media hiburan yang banyak diminati. Secara tidak langsung, para produser film akan lebih memerhatikan kelayakan bahasa dalam karya-karya berikutnya. Sayangnya, belum semua pihak menyadari arti penting bahasa Indonesia. Jika para insan perfilman di negeri ini mulai ’tanggap’ pada keberadaan bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa yang patut dipertahankan, tidak demikian halnya dengan sebagian besar masyarakat yang lain.

Era digital yang mengusung bendera globalisasi menuntut penguasaan teknologi dan bahasa asing pada berbagai bidang kehidupan. Hal ini semakin meminggirkan posisi bahasa Indonesia. Keadaan ini tidak berarti bahwa bahasa Indonesia tidak mampu bersaing dengan bahasa lain di dunia, tapi lebih pada sikap bangsa Indonesia sebagai pengguna bahasa Indonesia yang cenderung menunjukkan sikap negatif.

Sikap negatif tersebut bisa kita lihat dalam tiga hal. Pertama, maraknya penggunaan bahasa asing terutama bahasa Inggris di tempat umum untuk konsumsi publik. Di sekeliling kita bertebaran istilah asing, di mal-mal, pusat perbelanjaan, papan nama, papan petunjuk, kain rentang, nama toko dan tempat umum lainnya. Bahkan saya pernah melihat sebuah undangan pernikahan berbahasa Inggris. Padahal, yang menikah adalah orang Indonesia dan yang diundang adalah keluarga, saudara, dan teman-teman yang juga berkebangsaan Indonesia. Sok keren? Atau tragis?. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ”kita sedang berada di mana?”

Kedua, sikap tak acuh pengguna bahasa Indonesia. Sitor Situmorang mengatakan bahwa orang Indonesia ’malas’ untuk mencari padanan kata dan istilah asing, istilah yang ada diserap mentah-mentah. Orang Indonesia hanya pandai mengutak-atik kata dan istilah Inggris, tidak ada kemauan dan usaha untuk mencari padanan yang tepat, padahal kata dan istilah yang digunakan telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Ketiga, ketidakmampuan media massa dalam menjalankan fungsi sebagai penjaga bahasa. Banyak media massa di negara kita masih ’keteteran’ dalam menyunting setiap berita dan artikel. Padahal media massa telah didaulat sebagai penjaga bahasa dan penggerak opini di masyarakat. Sangat disayangkan bila kemudian media massa menafikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar demi mengikuti segmen pasar atau alur pembacanya. Hilangnya kolom pembinaan bahasa Indonesia di berbagai media juga semakin ’menenggelamkan’ posisi bahasa Indonesia.

Ada dua faktor penyebab munculnya sikap negatif tersebut, yakni kemalasan berpikir dan mitos tentang bahasa Indonesia. Kekacauan berbahasa sesungguhnya muncul dari kemalasan berpikir. Hal ini pernah ditegaskan oleh Franz Magnis Suseno S.J., menurutnya salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata orang Indonesia buruk dalam berbahasa Indonesia adalah sifat malas berpikir untuk mencari kata-kata yang tepat dan benar sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia. Bahkan lebih banyak yang tidak mau tahu apakah bahasa yang dipakai itu sudah baik atau belum. Dia menambahkan bahwa orang Indonesia itu jarang memedulikan kaidah bahasa yang digunakan. Istilah keren-nya ”yang penting nyambung.” Padahal, bahasa bukan sekadar alat komunikasi dan informasi, melainkan alat berpikir.

Sikap negatif tersebut juga bermuara pada mitos tentang bahasa Indonesia selama ini, yakni (1) posisi faktual bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (bukan bahasa ibu rata-rata orang Indonesia) yang dampaknya kita rasakan pada lemahnya frekuensi penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, (2) posisi historis bahasa Indonesia yang bermula ’hanya’ dari bahasa Melayu, dan (3) bahwa bahasa Indonesia itu sulit dipahami karena banyaknya kosakata daerah dan asing yang diserap menjadi bahasa Indonesia. Ketiga hal tersebut tampaknya semakin menyudutkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa negara.

Mengapa orang Indonesia tampak lebih bangga berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia? Ismet Fanany, seorang pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Deakin, Australia, mengatakan bahwa bahasa Indonesia masih dianggap rendah. Ini dibuktikan dengan keengganan masyarakat menggunakan bahasa Indonesia. Keengganan tersebut menunjukkan pandangan masyarakat Indonesia sendiri terhadap bahasanya. Bahasa Indonesia dianggap tidak cocok untuk mencerminkan persepsi yang lebih tinggi, lebih modern, lebih terdidik. Singkatnya, bahasa Indonesia dianggap tidak berdaya menghadapi kehidupan modern.

Mochtar Lubis, dalam bukunya ”Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab,” mengatakan bahwa orang Indonesia memperlihatkan diri dapat berbahasa Inggris pada situasi yang tidak tepat adalah salah satu contoh sifat negatif manusia Indonesia terhadap bahasanya. Menurutnya orang Indonesia suka dengan lambang-lambang penanda diri. Bahasa Inggris misalnya, telah dijadikan sebagai penanda diri oleh mereka yang menganggap diri mereka modern, terdidik, merasa diri lebih tinggi. Dalam sebuah situs internet, (http:/warta.unair.com), seorang pengamat bahasa mengatakan bahwa orang Indonesia adalah sekumpulan manusia ’sok’ dan ’tukang tiru’ serta gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa. Orang Indonesia juga tidak segan meniru, melahap, bahkan menghamba pada hal-hal yang ’berbau’ luar negeri.

Asumsi tersebut dipertegas oleh kalangan intelektual, para eksekutif, tokoh masyarakat yang cerdik cendekia, dan para pejabat yang sering menggunakan bahasa asing terutama bahasa Inggris dengan porsi yang tidak seimbang dan terkesan ”asal-asalan.” Berbagai kalangan yang diharapkan mampu ”taat asas” terhadap bahasa Indonesia di negeri ini justru merupakan kalangan yang sering ”khilaf” dalam membahasakan pendapat, baik dalam bahasa tulis maupun lisan pada berbagai kesempatan formal.

Anggapan bahwa “mereka” yang bisa berbahasa Inggris itu lebih hebat, semakin menyebabkan keterasingan bahasa Indonesia di negeri ini. Gejala yang mengemuka kemudian adalah hadirnya sekolah internasional yang menawarkan dan “memaksa” menghadirkan suasana ”luar negeri” ke dunia pendidikan dengan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa utama. Padahal, belum tentu pula lulusan sekolah tersebut diarahkan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Menguasai bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya memang penting dan merupakan satu hal positif yang patut dibanggakan, tapi yang perlu kita cermati adalah penggunaannya. Jangan sampai kita menggunakan bahasa Inggris semata-mata untuk menonjolkan diri, memperlihatkan bahwa kita bisa berbahasa Inggris. Penggunaan bahasa asing itu sah-sah saja, bukan tidak boleh, tapi perlu disesuaikan dengan situasi dan tempat kita menggunakan bahasa asing tersebut.

Kita juga tidak bisa memaksakan bahasa Indonesia dipergunakan dalam percakapan sehari-sehari, karena masing-masing bahasa memiliki waktu dan tempat masing-masing. Bahasa Indonesia dalam hal ini sebagai medium bahasa komunikasi resmi sudah selayaknya diutamakan penggunaannya dalam berbagai kesempatan formal.

Pengaruh budaya asing dan globalisasi sebenarnya tidak akan terlalu memojokkan bahasa Indonesia jika kita memiliki filter yang kuat. Bahasa sebagai produk perkembangan budaya manusia juga seharusnya memiliki filter untuk menyaring pengaruh negatif yang datang dari luar. Filter itu dapat berupa komitmen yang kuat untuk mempertahankan dan menjaga kelangsungan bahasa Indonesia, serta adanya kepiawaian dalam pemakaian secara kontekstual. Bahkan, globalisasi dan tranformasi budaya dapat dijadikan sebagai ajang untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Yang tidak kalah penting dari hal itu adalah kesadaran masyarakat pada peran penting bahasa Indonesia sebagai lambang identitas dan jati diri bangsa. ”Kesadaran” yang bisa menyelamatkan bahasa Indonesia, bahasa nasional, dari keterpojokan di tengah pentas persaingan bahasa-bahasa di dunia.

Itu sudah...

P.S. Buat Deni Andriana

”Kenapa Harus Bisa Berbahasa Inggris?”

Jawaban saya. Itu adalah pilihan, bukan keharusan mutlak, seharusnya kalimat ”Kenapa Kita Harus Bisa Berbahasa Inggris” menjadi” Kita Sebaiknya Bisa Berbahasa Inggris. Yah, itu adalah pilihan. Kalau anda mewajibkan anak-adik, kakak atau siapapun kerabat anda untuk bisa fasih berbahasa asing, sah-sah saja. Ya, sekadar menjawab tuntutan zaman yang semakin hari semakin tidak rasional saja. Anda mau pilih ikut arus atau jauh tertinggal, itu terserah Anda(sok formal banget sih :).Tapi semoga kita tidak menjadi sosok manusia yang tercabut dari akarnya, kehilangan identitas, sehingga nantinya kita bingung akan penanda diri apa yang harus dilekatkan di diri kita.

Kalau teman Anda berkata : ”tidak ada yang salah dengan belajar bahasa Inggris, toh suatu waktu kita memerlukannya, tapi kita tentu harus menempatkan dimana dan kapan kita memakainya. Dan lebih penting lagi, jangan mencampur adukan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia dalam satu dialog” , saya sepakat. Intinya lihat konteks dan situasi, jangan asal tabrak aja, hehehe. Salam.