Rabu, 04 Januari 2017

Critical Eleven: Berdamai dengan Kehilangan

Judul Buku : Critical Eleven Penulis : Ika Natassa Editor : Rosi L Simamora Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Cetakan pertama : Juli 2015 Tebal : 344 halaman, paperback ISBN : 978-602-031892-9
Berdamai dengan kehilangan, itu moral of the story yang paling kuat menurut saya, yang saya temukan saat membaca novel ini. Hal yang tidak pernah mudah bagi siapapun. Tidak ada buku petunjuk patennya. Sebanyak apapun buku atau teori yang membahas tentang itu. Tidak pernah mudah, sekalipun kau telah mengalaminya berkali-kali. Recommended book, tidak hanya untuk a cup of afternoon tea, tapi buat mereka yang sedang dalam tahap berduka (referensi tentang how to deal with grief itu keren banget. Dikisahkan, Anya-Tanya Laetitia Baskoro, seorang yang perempuan yang sudah pesismistis akan adanya sosok laki-laki baik, bertemu dengan Ale-Aldebaran Risdjad di pesawat dalam penerbangannya menuju Sidney. Mereka sama-sama terpikat dalam sebelas menit pertama pertemuan mereka, sebelas menit pertama yang juga kiritis dalam teori penerbangan karena konon, banyak kecelakaan pesawat yang terjadi di menit-menit ini. Karena telah sama-sama yakin, mereka akhirnya memutuskan menikah. Namun sayang, anak yang sangat mereka idam-idamkan meninggal di dalam kandungan. Hal yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan masalah di antara Ale dan Anya. Yang menarik dari novel Ika yang satu ini adalah alih karakter/sudut pandang Ale-Anya yang silih berganti sepanjang alur cerita. Bagaimana pengalihan itu terkait satu sama lain antara cerita versi Ale dan versi Anya, pendapat Ale dan Anya tentang satu sama lain, teknik bercerita yang tidak mudah menurut saya. Begitu juga dengan adegan-adegan ketika Anya atau Ale sedang berada dalam satu ruangan yang sama, seringnya di dapur mereka, ketika mereka harus menyapa satu sama lain karena begitulah normalnya pasangan yang masih menikah-juga kekecewaan demi kekecewaan yang mereka rasakan terhadap pasangannya. Lalu, seperti menyaksikan sendiri kehidupan rumah tangga Ale-Anya, saya yakin, Ika melakukan penelitian yang luar biasa tentang pernikahan-mengingat Ika sendiri katanya belum pernah menikah. Melalui novel terbarunya ini, Ika tampaknya menegaskan bahwa ia adalah salah satu dari penulis perempuan Indonesia yang patut diperhitungkan. Terbaca upaya penulis dalam mewujudkan novel ini di bagian acknowledgement, bahwa betapa setelah berkali- kali menerbitkan novel larispun, ia sempat mengalami stuck. Bagaimana ia mewawancarai sumber inspirasi karakternya, juga dengan informasi-informasi buku yang dibaca oleh tokoh Anya dalam novel ini-menunjukkan beginilah harusnya susah payah seorang penulis. Tidak sekadar berimajinasi, membayangkan plot cerita, plus mengandalkan mesin pencari untuk menambah latar tempat di karyanya, tetapi juga melakukan penelitian yang mendalam demi kedalaman karakter setiap tokohnya dan detail tempat-tempat yang ia gunakan. Kelebihan ini, menurut saya ya, yang membuat novel-novel Ika digemari dan layak dinanti. Ika selalu berhasil mengajak serta emosi pembaca melalui karakter-karakter yang ia ciptakan. Seperti tokoh Anya dan Ale di novel ini, emosi keduanya terasa nyata sehingga mudah melibatkan simpati pembaca terhadap masalah rumah tangga yang mereka alami. Saya suka cara Ika menggambarkan melalui Anya, bahwa masalah pernikahan tidak bisa diselesaikan dengan kabur misalnya, juga dengan mendiamkan pasangan (setidaknya ketika ditanya pasangan, menjawab, meski pendek dan datar), karena memang laki-laki itu mahluk yang rada clueless, hehehe. Mereka bukan peramal yang bisa dengan mudah menebak perasaan perempuan, meskipun perempuan itu sudah ia kenal bertahun - tahun lamanya. Mereka tetap perlu diberitahu bahwa kita, perempuan memerlukan waktu berpikir atau apalah namanya, sedang tidak mood atau sedang ingin sendiri. Kekurangan novel ini terletak pada karakter beberapa tokohnya yang telalu too good to be true. Tokoh Ale misalnya, tampan, tidak merokok, bergaji mapan, plus luar biasa sabar menghadapi istrinya-rajin shalat pula. Tapi ini tampaknya ingin ditampik melalui apa yang dikatakan Anya ke Agnes dan Tara, kalau berdoa (minta jodoh ke Tuhan), harus sedetail-detailnya, biar dikasih yang sama persis, hahahaha. Empat bindnag dari lima bintang, bolehlah untuk novel ini. Mengetahui novel ini akan diadaptasi ke layar lebar, saya sangat berharap bahwa nantinya, film Critical Eleven ini akan berbeda dari film-film hasil adaptasi novel sebelumnya--berbeda dari segi kualitas naskah, kekuatan cerita versi layar lebar, setting, dan terutama kualitas pemeran tokoh-tokohnya. Saya juga berharap, hadirnya film Critical Eleven ini akan menjadi kebanggaan sekaligus perayaan pembaca novel di Indonesia. Saya membayangkan, tokoh Ale dan Anya dapatdivisualisasikan dengan baik oleh siapapun yang memerankannya. Jadi tidak sabar membayangkan bagaimana chemistry keduanya saat mengitari New York. Saya mau lanjut baca ulang (ketiga kalinya) lagi nih. Enjoy your day.

A Fresh Start

"There is a universal truth we all have to face, whether we want to or not, everything eventually ends. As much as I've looked forward to this day, I've always disliked endings. Last day of summer, the final chapter of a great book, parting ways with a close friend. But endings are inevitable, leaves fall, you close the book. You say goodbye. Today is one of those days for us. Today we say goodbye to everything that was familiar, everything that was comfortable. We're moving on. But just because we're leaving, and that hurts, there's some people who are so much a part of us, they'll be with us no matter what. They are our solid ground. Our North Star. And the small clear voices in our hearts that will be with us … always." Dari semua quotes film yang saya tonton,nukilan di atas adalah favorit saya. 12 kalimat yang diucapkan Alexis ini merangkum semua hal tentang kehidupan. Tentang menemukan diri sendiri dalam ketidakpastian, tentang melepaskan apa yang belum siap kita lepaskan, tentang memulai kembali. Blog ini adalah tentang saya memulai lagi. Belajar mendisiplinkan diri, terutama dalam menulis. Berharap dengan kembali menjadi seorang blogger, saya dapat menemukan ritme menulis saya. Berharap dengan kembali nge-blog saya dapat bertemu dengan orang-orang baru, yang dapat menginspirasi saya lagi untuk terus menulis. Bahkan nantinya bisa punya buku sendiri. Someday. Semoga semesta mengaminkan mimpi itu. Nama blog ini terinspirasi darisalah satu tulisan Desi Anwar di bukunya A Simple Life, dengan judul yang sama. Jujur saja, buku ini mengingatkan saya akan banyak hal. Untuk jeda sejenak. Menarik nafas. Mencermati sekitar. Tersenyum untuk hal hal kecil. Mensyukuri hidup. Hidup baru saya di mulai hari ini.