Rabu, 22 Juli 2009

Terkadang Pilihan yang Terbaik adalah Menerima

Aku menyaksikan Ayah menitikkan mata hari ini. Kali kedua aku lihat. Entah karena apa. Tidak seperti biasanya. Aku mencoba mengabaikan. Mencoba tidak melihat pada tubuhnya yang semakin ringkih oleh usia dan tempaan hidup yang berat. Mencoba tersenyum. Meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja. Lalu mengalihkan pandangan ke wajah ibu demi mencari kekuatan agar aku bisa pergi dengan tenang.Tapi aku tak berhasil. Di wajah itu aku malah sorot mata yang memancarkan kesedihan yang lebih dalam.Ayah, Ibu, maafkan aku.

Tuhan, aku benci saat-saat ini.
Saat-saat aku harus kembali ke dunia di mana aku terus meyakinkan diri sendiri bahwa itulah tempat yang telah aku pilih sejak awal. Dengan segala asa, konsekwensi, komitmen, juga hal-hal yang awalnya enggan kulepaskan. Cinta, sahabat, semua yang kuakrabi dalam jalinan waktu yang panjang dan menyepuhkan kenangan manis-pahit silih berganti.

Waktu begitu cepat berlalu dalam genggaman.
Dan aku kembali menemukan varian rasa berkecamuk dan melebur menjadi satu dalam hati dan benakku. Entahlah. Aku semakin tak mengerti hidup. Semakin aku bertanya, sengkarut itu semakin melilitku. Menggiring aku ke dalam pusaran takdir yang kupilih dengan sadar. Mungkin aku harus berhenti bertanya dan mulai menghikmatinya lagi. Mengingat pada waktu ke depan yang pernah menjanjiku hadiah tak ternilai untuk orang-orang yang kukasihi.

Syukur tiada henti. Harapan tiada putus. Selalu berlomba satu sama lain mengukir kuantitasnya dalam munajah di tiap sepertiga malam.

Mungkin hidup memang harus dijalani tanpa pertanyaan agar semuanya bisa terlalui dengan ikhlas. Supaya tiada kebingungan menderai setiap langkah yang kita tempuh dengan harap-harap cemas.

Tapi bukankah kebingungan-kebingungan yang justru akan mempertemukan kita pada makna kehidupan itu sendiri?

Bukankah pertanyaan-pertanyaan itu pula yang mengantarkan kita pada keberakhiran seperti apa yang kita inginkan nantinya?

Pada telaga eksistensi dan aktualisasi penghambaan pada sang Penjawab Pertanyaan yang selalu Maha Adil dalam membuat skenario kehidupan bagi masing-masing umatnya?

Mungkin semua tanya itu ada untuk membuat kita belajar bahwa hidup akan selalu diliputi kabut tak teraba yang takkan mampu kita tembus selain oleh Sang Pemberi roh kehidupan itu sendiri.

Segala tawa suka- air mata duka. Semua hanyalah pemanis.
Segala Bahagia-Kecewa. Semua hanyalah penceria.

Sungguh dibutuhkan kebesaran jiwa dan kebijakan hati yang luar biasa.
Sesuatu yang hampir mustahil selalu dimiliki jika dihadapkan pada berbagai pilihan hidup yang tak pernah mudah dengan ego-ego duniawi dan mimpi-mimpi surgawi di dalamnya. Walaupun pada kenyataannya, mau susah atau senang tinggal pilih saja. Toh syarat dan ketentuan telah tertulis dengan jelas.

Dan terkadang pilihan terbaik adalah menerima. Dan aku akan melihat kemana pilihan ini akan membawaku.

Di sinilah aku.
Kembali menaiki kereta takdirku. Mencoba tidak berpaling ke belakang. Bagaimanapun, sepahit dan seberliku apapun jalannya. Jika ini demi mereka, akan kulakukan. Dan lagi-lagi aku mencoba meyakinkan diri. Bahwa selalu ada hal yang harus kita lepaskan untuk sesuatu yang ingin kita raih. Karena memang mustahil untuk memiliki semua yang kita inginkan.

Ayah, Ibu. Restu dan doamu sungguh akan senantiasa menguatkan anakmu dalam mencapai cita dan mimpinya.

Makassar dini hari, 21-07-2009.

Tidak ada komentar: